Sabtu, 24 Oktober 2009

Tarif Sewa Rumah Dinas PT. KAI Bisa PTUN-kan?

Pertanyaan:
Sejak kecil, saya bersama keluarga yang pensiunan pegawai KA, telah menempati perumahan PJKA (kini menjadi PT. Kereta Api Indonenesia). Selama ini sebagai penghuni keluarga saya telah membayar uang sewa yang besarnya tidak lebih dari Rp 50.000 per bulan.



Namun, tanpa sosialisasi terlebih dulu, pihak PT. KAI secara sepihak telah meminta kepada semua penghuni perumahan tersebut, untuk melaksanakan surat Direksi PT. KAI No. A/JB.310/U.5-2004, tertanggal 16 Juli 2004 tentang Tarif Rumah Dinas PT. KAI. Atas surat tersebut kami merasa keberatan, dengan alasan selain kenaikannya mencapai hampir 120 kali lipat (kini menjadi Rp 350.000 – Rp 450.000 per bulan), sebagai penghuni terlama kami bermaksud membelinya.

Sekadar diketahui, di beberapa wilayah telah banyak tanah-tanah maupun perumahan PT. KAI yang telah berpindah tangan kepada pihak ketiga/ investor, dan telah berubah menjadi ruko-ruko. Memperhatikan kenyataan seperti itu, terus terang sangat menyakitkan dan menyinggung rasa keadilan bagi warga negara seperti kami.

Hal yang ingin saya tanyakan:
1) Apakah surat Direksi PT. KAI No. A/JB.310/U.5-2004, tertanggal 16 Juli 2004 tentang Tarif Rumah Dinas PT. KAI itu dapat di-PTUN-kan?
2) Apa yang harus Kami lakukan bilamana Direksi PT. KAI menerbitkan surat perintah pengosongan atas rumah dinas yang Kami tempati?
3) Dapatkah PT. KAI secara tiba-tiba melakukan eksekusi atas rumah dinas itu, berdasarkan surat perintah pengosongan tersebut?

Terima kasih atas jawaban pengasuh rubrik: Konsultasi Hukum.

Sugeng Hadi
Jl. Genteng – Kota Malang.


Jawaban:


Yth. Bp. Sugeng Hadi di Malang.
Surat Direksi PT. KAI No. A/JB.310/U.5-2004, tertanggal 16 Juli 2004 tentang Tarif Rumah Dinas PT. KAI tersebut, bukan termasuk suatu keputusan tata usaha negara sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Selengkapnya, ketentuan tersebut berbunyi sebagai berikut:
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Memang, surat Direksi PT. KAI tentang tarif rumah dinas tersebut sudah dapat dikwalifikasikan sebagai penetapan/keputusan tertulis pejabat TUN yang bersifat tindakan hukum, serta memenuhi unsur konkrit. Yakni, tindakan hukum itu mengenai obyek yang tidak abstrak, maksudnya berwujud, tertentu dan dapat ditentukan, dalam hal ini adalah mengenai tarif rumah dinas PT. KAI.

Namun surat itu tidak memenuhi unsur sifat individual dan final. Unsur sifat individual artinya, KTUN itu ditujukan untuk subyek tertentu, baik terhadap alamat maupun hal yang dituju. Sebab itu, bila yang dituju itu lebih dari seorang, tiap-tiap nama yang terkena keputusan itu wajib disebutkan. Dan, bersifat final, maksudnya, KTUN yang diterbitkan pejabat tersebut sudah definitif, oleh karenanya telah dapat menimbulkan akibat hukum.

Itu berarti, bila KTUN yang bersangkutan masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain, belum bersifat final. Dengan demikian oleh sebab surat Direksi PT. KAI itu, tidak memenuhi kedua unsur yang disebut terakhir, maka tidak termasuk obyek gugatan dalam PTUN.

Dalam upaya melaksanakan suratnya mengenai tarif sewa itu, dapat saja terjadi kemudian pihak PT. KAI mengeluarkan surat yang memenuhi syarat untuk disebut KTUN. Misalnya saja, Bapak “A” selaku penghuni perumahan PT. KAI tidak mau membayar uang sewa sesuai tarif baru, maka PT. KAI menerbitkan perintah pengosongan rumah dinas yang ditempatinya. Nah, surat perintah pengosongan itulah termasuk klasifikasi KTUN yang dapat di-PTUN-kan.

Tentang surat perintah pengosongan, andai PT. KAI menerbitkannya, pihak PT. KAI tidak dapat secara serta merta melakukan eksekusi sendiri. Sebab surat itu tidak memiliki sifat eksekutorial. Sebagai badan hukum publik milik negara, PT. KAI, tetap wajib mengajukan permohonan eksekusi melalui pengadilan. Sementara itu, pihak penghuni dapat mengajukan perlawanan melalui pengadilan yang bersangkutan terhadap surat penetapan eksekusi yang diterbitkan oleh pengadilan. Lain lagi persoalannya, bila pihak PT. KAI menggunakan preman guna melaksanakan eksekusi.

Sebagai rumah dinas yang termasuk dalam klasifikasi Golongan III, rumah-rumah dinas yang kini dihuni oleh mantan/pensiunan PT. KAI, sebenarnya dapat dimohonkan menjadi hak milik. Sesuai Peraturan Pemerintah (PP) No. 40 Tahun 1994, setiap rumah dinas Golongan III dapat dimohonkan menjadi milik penghuni setelah mendapat ada ijin –dalam perkara ini adalah PT. KAI– dan memperoleh persetujuan Menteri Keuangan. Selanjutnya, yang bersangkutan bakal memperoleh surat penetapan pemberian hak.

Sekedar dipahami, rumah dinas itu dapat diklasifikasikan menjadi Golongan I dan II, yang tidak memungkinkan untuk dimohonkan kepemilikannya. Dan, Golongan III yang memungkinkan untuk diberikan kepada penghuni setelah terlebih dulu memenuhi prosedur hukum yang berlaku. Termasuk di antaranya adalah membayar biaya pelepasan kepada Negara.

2 komentar:

  1. http://www.facebook.com/#!/pages/DUKUNG-PENSIUNAN-PTKAI-YG-TERUSIR-DR-RUMAH-DINAS/339284864111?ref=nf

    BalasHapus
  2. mohon bantuan hukum atao pendamping warga rumdin pjka lokasi blakang stasiun dan pang sudirman yang akan digusur pada akhir mei tahun 2014, masalahanya waktunya sangat mepet sehingga warga kurang persiapan dalam mencari tempat baru karena harus mencari uang dulu untuk mencari tempat, mohon sekali lagi mohon masukan terkait akan digusurnya rumdin pjka dilokasi tersebut...

    BalasHapus