Sabtu, 17 Oktober 2009

PROSEDUR PENSERTIFIKATAN TANAH

Sebelum diundangkannya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), di Republik ini berlaku dualisme hukum tanah. Di satu sisi berlaku hukum pertanahan yang dikuasai hukum perdata Barat sebagaimana termuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt), peninggalan penjajah Belanda. Sedangkan di sisi lain masih berlaku tatanan hukum Adat, yakni tatanan atau kaidah hukum yang telah mendarah daging dalam sistem kehidupan bangsa Indonesia sejak berabad-abad lamanya.


Sejak diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA pada 24 September 1960, secara revolusioner telah diadakan sekaligus menciptakan pembaruan di bidang hukum pertanahan. Maka, di lapangan hukum pertanahan yang berlaku sebagai hukum positif di Indonesia hanyalah UUPA beserta peraturan pelaksanaannya. Dan, merujuk pada pasal 5 UUPA, sistem hukum pertanahan yang berlaku di negeri ini adalah hukum Adat, yang menurut pakar hukum tanah Budi Harsono, hukum Adat yang disaner.

Salah satu ketentuan tentang usaha tertib hukum di bidang pertanahan adalah peraturan mengenai pendaftaran tanah, yakni Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah. Ketentuan ini merupakan aturan pengganti dari PP No. 10 Tahun 1961, yang mengatur perihal yang sama, namun karena dipandang sudah tidak sesuai lagi ketentuan yang disebut terakhir ini, telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus-menerus berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Menurut ketentuan, dalam pendaftaran tanah untuk pertama kali dikenal 2 (dua) model. Pertama, pendaftaran tanah secara sistematik didasarkan pada suatu rencana kerja dan dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan Menteri/Kepala BPN. Kedua, pendaftaran tanah secara sporadik yang dilaksanakan atas permintaan pihak yang berkepentingan. Untuk hal yang terakhir ini, maka pemohon yang pertama kali wajib memenuhi persyaratan adminitratif, meliputi:

1. Mengajukan surat pendaftaran tanah yang dilampiri:
a) Surat pernyataan penguasaan dan riwayat tanah
b) Bukti identitas pemohon yang dilegalisasi Kepala Desa/Lurah, termasuk bukti
kewarganegaraan Indonesia
c) Bukti identitas saksi yang dilegalisasi Kepala Desa/Lurah
d) Daftar riwayat kepemilikan tanah


2. Jika kepengurusan dikuasakan kepada orang lain, maka perlu dilengkapi dengan
surat kuasa tertulis dan identitas dari penerima hak.

3. Membayar biaya pendaftaran, sesuai ketentuan peraturan Kepala BPN, No. 2
Tahun 1992.

4. Memasang tugu batas bidang tanah yang telah disepakati oleh tetangga batas,

yang memiliki/menguasai tanah di sebelahnya.

5. Adanya alas hak, berupa dokumen asli yang membuktikan adanya hak, antara

lain:

a) Bukti kepemilikan lengkap, seperti:

1) Surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan peraturan swapraja;

atau

2) Petok pajak bumi landrente, girik, pipil, ketitir dan verponding Indonesia

sebelum berlakunya PP No. 10 Tahun 1961; atau

3) Akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan yang dibubuhi tanda

kesaksian Kepala Adat/Kepala Desa/Lurah yang dibuat sebelum berlakunya PP

No. 10 Tahun 1961; atau

4) Risalah lelang yang dibuat oleh pejabat lelang yang berwenang, yang tanahnya

dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan; atau

5) Surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil

oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; atau

6) Lain-lain alat pembuktian tertulis dengan nama apa pun, sebagaimana dimaksud

Pasal II, VI, VII ketentuan konversi UUPA.

b) Bukti kepemilikan tidak lengkap, terdiri dari –selain dari poin a di atas –

yang dilengkapi dengan surat pernyataan pemohon dan keterangan dengan 2

(dua) orang saksi.

c) Bukti penguasaan terdiri dari:

1) Surat pernyataan yang isinya meliputi:

a) Telah menguasai tanah tersebut selama 20 tahun secara berturut-turut, atau

telah memperoleh penguasaan dari pihak lain sehingga waktunya apabila

dijumlah masa waktu 20 tahun atau lebih.

b) Dilakukan dengan itikat baik.

c) Tidak ada yang mengganggu gugat atau komplain.

d) Apabila memuat hal-hal yang tidak sesuai, atau bertentangan dengan isi surat

pernyataan, bersedia dituntut di muka hakim.

2) Keterangan dari Kepala Desa/Lurah, dan dikuatkan sekurang-kurangnya 2 (dua)

orang saksi.

Bila keseluruhan persyaratan terpenuhi, pemohon dapat memasukannya ke Loket II, yang selanjutnya pihak kantor BPN setempat, setelah melakukan pengecekan berkas segera mengirimkannya ke Loket III, selanjutnya ke Bagian Pembukuan DI 301.302.305. Sejak memasukan surat permohonan sertifikat untuk pertama kali ke loket, pemohon tinggal menunggu prosesnya.

Dalam praktik, proses pendaftaran tanah memang tidak semudah yang terlihat. Sebab hampir di seantero republik ini yang namanya pengurusan/ pendaftaran tanah, selalu ditingkahi banyak hambatan. Nyaris di setiap meja bagian pengurusan selalu minta “uang administrasi” yang berkisar antara Rp 20.000,- hingga mencapai Rp 150.000, untuk luas tanah 0-500 meter persegi. Sehingga, bila yang dimohonkan luas tanah lebih dari itu, sudah tentu biaya berlaku kelipatannya.

Bila berkas sudah dinyatakan lengkap, pihak BPN setempat selanjutnya melaksanakan kegiatan pengukuran dan pemetaan, meliputi:

1) Pengukuran atas bidang tanah yang dimohonkan
2) Pembuatan gambar ukur atas bidang tanah yang dimohonkan
3) Proses pembuatan surat ukur, hingga terbitnya surat ukur
4) Berkas selanjutnya masuk ke –yang diistilahkan– Panitia A, maka lahir konsep pengukuran, untuk dibawah ke Kasi Pengkuran & Pendaftaran Tanah (Kasi P & PT).
5) Dari Kasi P & PT, berkas dilanjutkan ke Kepala BPN setempat, selanjutnya dilakukan pengumuman, baik di BPN setempat maupun melalui media massa.
6) Bilamana tidak ada keberatan pihak ketiga, berkas mengalir ke Bagian Buku Tanah (Kasubsi II), selanjutnya masuk kembali ke Kasi P & PT.
7) Dari Kasi P & PT, konsep penegasan sertifikat yang akan diterbitkan dikirimkan kembali ke Kepala BPN setempat untuk mendapatkan pengesahan/penandatangan.
8) Sertifikat terbit, selanjutnya diserahkan kepada pemohon melalui Loket IV.

Sekadar dipahami, untuk pengurusan sertifikat di kota-kota besar, kebanyakan petugas/pejabat BPN cenderung memprioritaskan mereka yang menggunakan calo/perantaran bebas atau melalui kantor-kantor notaris. Bagi mereka yang mengurus sendiri, asalkan rajin memprotes dan selalu menanyakan kelanjutan permohonan, berkas permohonan akan ditindaklanjuti. Tapi bagi yang pemohon malas, pada map berkas permohonan biasanya oleh bagian penerimaan berkas akan ditandai dengan tulisan “YBS”. Maksudnya, permohonan itu dilakukan sendiri oleh “yang bersangkutan”, karena itu biasanya berkas permohonan yang akan ditumpuk begitu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar